Pemantau berpeluang jadi pemohon sengketa hasil pilkada calon tunggal
Oleh D.Dj. Kliwantoro
Jumat,judi hk toto911 8 November 2024 15:10 WIB
Semarang (ANTARA) - Bagi lembaga pemantau pemilihan yang hingga sekarang belum mendaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota, masih ada kesempatan hingga 16 November 2024.
Peluang ini jangan disia-siakan, khususnya pemantau pemilihan di 37 daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dengan calon tunggal atau pasangan calon versus kotak kosong.
Sebenarnya, lembaga penyelenggara pemilu, melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024, telah memberi kesempatan kepada lembaga pemantau pemilihan untuk mendaftar ke KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota sejak 27 Februari 2024.
Begitu pula PKPU Nomor 9 Tahun 2022 juga telah mengatur ruang lingkup dan wilayah pemantauan. Ruang lingkup pemantauan pemilihan dapat mencakup seluruh tahapan pemilihan, atau sebagian tahapan pemilihan (vide Pasal 47).
Kemungkinan karena keterbatasan personel dan anggaran, lembaga pemantau pemilihan "memilih" memantau sebagian tahapan pemilihan, terutama pada hari-H pencoblosan pilkada serentak, 27 November 2024. Hal ini mengingat semua biaya selama pemantauan ditanggung sendiri oleh pemantau pemilihan.
Tidak heran bila ada lembaga pemantau yang baru mendaftar di tengah tahapan pilkada serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota.
Namun, yang menjadi pertanyaan jika terjadi sengketa hasil pilkada di 36 daerah dan satu provinsi siapa yang kelak menjadi pemohon sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Setidaknya lembaga pemantau pemilihan di 37 daerah tersebut sudah mengantongi sertifikat dari KPU Provinsi Papua Barat atau 36 KPU kabupaten/kota agar mereka bisa menjalankan tugas pemantauan dan punya legal standing(kedudukan hukum) sebagai pihak pemohon sengketa hasil Pilkada 2024 dengan calon tunggal.
Kedudukan hukum lembaga pemantau pemilihan umum ini termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dan d Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.
Disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) PMK Nomor 2 Tahun 2016, sebagaimana diubah dengan PMK Nomor 2 Tahun 2017, selain diajukan oleh pasangan calon peserta pemilihan, permohonan dapat pula diajukan oleh pemantau pemilihan.
Namun, sebelum mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, pemantau pemilihan terlebih dahulu mengetahui ketentuan sebagaimana yang termaktub dalam PMK Nomor 2 Tahun 2017.
Pengajuan perselisihan perolehan suara jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh termohon, dalam hal ini KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota. Ketentuan 2 persen ini untuk provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh termohon.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 sampai dengan 12.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh termohon.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh termohon.
Untuk pilkada tingkat kabupaten/kota, jumlah penduduknya sampai dengan 250.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh termohon.
Berikutnya kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 jiwa sampai dengan 500.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh termohon.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 jiwa sampai dengan 1.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh termohon.
Jumlah penduduk di kabupaten/kota lebih dari 1.000.000 jiwa, pemantau pemilih baru bisa mengajukan permohonan ke MK dengan ketentuan terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh termohon.
Jika tidak mengantongi sertifikat dari lembaga penyelenggara pemilu itu, di samping tidak punya legal standing, juga akan kehilangan hak sebagai pemantau pemilihan seperti mendapatkan akses di wilayah pemilihan serta mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan.
Hak-hak lainnya, yakni: mengamati dan mengumpulkan informasi jalannya pelaksanaan pemilihan dari tahap awal sampai tahap akhir; mendapat akses informasi dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota; serta menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan.
Khusus hak berada di lingkungan tempat pemungutan suara (TPS) pada hari-H pemungutan suara dan memantau jalannya pemungutan dan penghitungan suara, pada Pilkada 2024 tidak seleluasa ketika memantau pelaksanaan Pilkada 2020. Kala itu pemantau pemilihan diperbolehkan masuk ke dalam TPS.
Akan tetapi, dalam Pasal 52 huruf ini PKPU Nomor 9 Tahun 2022, terdapat larangan pemantau pemilihan masuk ke dalam tempat pemungutan suara.
Larangan itu patut diperhatikan oleh pemantau pemilihan agar tidak terancam pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar (vide Pasal 73 ayat 4).
*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Provinsi Jawa Tengah